Pengertian Prosa


D. Pengertian Prosa
Prosa ialah karya sastra yang berbentuk cerita yang bebas, tidak
terikat oleh rima, irama, dan kemerduan bunyi seperti puisi. Bahasa prosa
seperti bahasa sehari-hari. Menurut isinya, prosa terdiri atas prosa fiksi dan
nonfiksi.
1. Prosa Fiksi
Prosa fiksi ialah prosa yang berupa cerita rekaan atau khayalan
pengarangnya. Isi cerita tidak sepenuhnya berdasarkan pada fakta.

Prosa fiksi disebut juga karangan narasi sugestif/imajinatif. Prosa fiksi
berbentuk cerita pendek (cerpen), novel, dan dongeng.
1. Cerpen adalah cerita rekaan yang pendek dalam arti hanya berisi
pengisahan dengan fokus pada satu konflik saja dengan tokohtokoh
yang terbatas dan tidak berkembang. Alur cerita sederhana
hanya memaparkan penyelesaian konflik yang diungkapkan.
2. Novel berasal dari bahasa Italia, novella yang berarti barang baru
yang kecil. Kemudian, kata tersebut menjadi istilah sebuah karya
sastra dalam bentuk prosa. Novel lebih panjang isinya dari pada
cerpen. Konflik yang dikisahkannya lebih luas. Para tokoh dan
Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII 9
watak tokoh pun lebih berkembang sampai mengalami perubahan
nasib. Penggambaran latar lebih detail. Bersamaan dengan
perjalanan waktu terjadi perubahan-perubahan hingga konflik
terselesaikan.
3. Dongeng adalah cerita rekaan yang sama dengan cerpen atau
novel. Hanya di dongeng, cerita yang dikisahkan adalah tentang
hal-hal yang tak masuk akal atau tak mungkin terjadi. Misalnya,
orang dapat menjelma jadi binatang, binatang dapat berkata-kata,
dan sebagainya. Dongeng biasanya menjadi sarana penyampaian
nasihat tentang moral atau bersifat alegoris. Contoh dongeng:
Kancil dan Buaya, Jaka dan Pohon Kacang Ajaib, Eneng dan Kaos
Kaki Ajaib, dan lain-lain.
Contoh cerita berbentuk dongeng

                      BAYANGAN DI CERMIN

Di sebuah pulau terpencil, jauh di tengah lautan, tinggallah
sepasang suami istri dengan rukun dan damai, tidak pernah mengalami
persengketaan. Namun pada suatu senja, ketika sang suami kembali
dari laut, ia menemukan sepotong cermin terletak di pantai. Diambilnya
cermin itu, dan alangkah heran hatinya melihat bayangan manusia di
dalamnya. Inilah agaknya ayahku yang meninggal beberapa bulan yang
lalu, pikirnya.
Cepat-cepat dia pulang ke rumah. Cermin itu dibungkusnya lalu
disimpannya di bawah bantal. Hal ini tidaklah diceritakannya kepada
istrinya.
Keesokan harinya, ketika istrinya membersihkan tempat tidur, dia
menemukan bungkusan itu. Alangkah kagetnya dia setelah membukanya,
dan menemukan ada seorang wanita di dalam benda yang dibungkus
dengan rapi itu.
Suamiku sudah berkhianat, pikirnya. Dulu dia berjanji akan setia
sampai mati. Rupanya sewaktu ke laut, dia mengambil kesempatan
mencari wanita lain.
Ketika suaminya pulang dari laut senja hari, dia tidak menyambutnya
dengan senyum seperti biasanya, tetapi dengan omelan. “Dulu kamu

mengatakan sayalah satu-satunya wanita di dalam hidupmu. Kamu
berjanji setia sampai mati. Tetapi sekarang kamu punya wanita simpanan,”
tuduhnya.
Suaminya kaget. Dia tidak mengerti apa maksud istrinya. “Lha, ada
apa ini? Mengapa kamu bilang saya punya simpanan?” tanyanya.
“Ini! Lihatlah!” teriak sang istri sambil menyerahkan cermin itu
kepada suaminya.
Sang suami melihat ke dalam cermin, kemudian berkata, “Lihatlah
baik-baik, ini bayangan mendiang ayahku.”
“Ayahmu?” teriak istrinya sambil merebut kembali cermin itu. Dia
kembali melihat ke dalamnya, dan kembali terlihat bayangan wanita.
“Bohong! Ini wanita!” teriaknya.
Dengan sabar sang suami datang mendekat, sambil berkata, “Mari kita
lihat bersama, dan kita buktikan bayangan siapa yang ada di dalam benda
ajaib itu.”
Namun, alangkah bertambah kagetnya mereka ketika melihat sekarang
ada dua bayangan di dalam cermin itu, seorang laki-laki dan seorang wanita.
Dalam kekagetan dan kebingungan itu, tiba-tiba cermin itu terlepas dari
tangan dan jatuh, lalu pecah berderai. Sekarang tidak ada lagi bayangan
laki-laki dan wanita. Dan mereka pun tidak bertengkar lagi.
(Diceritakan kembali oleh Letmiros dalam “Menulis Secara Populer” oleh
Ismail Marahimin, 2001)
Di dalam prosa fiksi, terdapat unsur-unsur pembangun yang disebut
unsur intrinsik. Yang termasuk unsur intrinsik, yaitu: tema, alur, penokohan,
latar, amanat, sudut pandang, dan gaya bahasa.
a. Tema
Tema ialah inti atau landasan utama pengembangan cerita. Hal
yang sedang diungkapakan oleh pengarang dalam ceritanya. Tema
dapat bersumber pada pengalaman pengarang, pengamatan pada
lingkungan, permasalahan kehidupan, dan sebagainya. Misalnya,
tentang cinta, kesetiaan, ketakwaan, korupsi, perjuangan mencapai
keinginan, perebutan warisan, dan sebagainya.
Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII 11
b. Alur/Plot
Alur ialah jalan cerita atau cara pengarang bercerita. Alur dapat
disebut juga rangkaian atau tahapan serta pengembangan cerita. Dari
mana pengarang memulai cerita mengembangkan dan mengakhirinya.
Alur terdiri atas alur maju, alur mundur (flash back), alur melingkar,
dan alur campuran. Tahapan-tahapan alur yaitu:
(1) pengenalan
(2) pengungkapan masalah
(3) menuju konflik
(4) ketegangan
(5) penyelesaian
c. Penokohan
Penokohan ialah cara pengarang mengambarkan para tokoh di
dalam cerita. Penokohan terdiri atas tokoh cerita, yaitu orang-orang
yang terlibat secara langsung sebagai pemeran sekaligus penggerak
cerita dan orang-orang yang hanya disertakan di dalam cerita. Dan
watak tokoh, yaitu penggambaran karakter serta perilaku tokoh-tokoh
cerita. Untuk menimbulkan konflik, biasanya di dalam cerita ada tokoh
yang berperan penting dengan kepribadian yang menyenangkan dan
ada tokoh yang berseberangan tindak-tanduk dan perilakunya dengan
tokoh sentral tersebut. Tokoh utama disebut dengan tokoh protagonis
dan lawannya adalah tokoh antagonis.

Cara pengarang menggambarkan para tokoh cerita ialah dengan
secara langsung dijelaskan nama tokoh beserta gambaran fisik,
kepribadian, lingkungan kehidupan, jalan pikiran, proses berbahasa,
dan lain-lain. Dapat juga dengan cara tidak langsung, yaitu melalui
percakapan/dialog, digambarkan oleh tokoh lainnya, reaksi dari tokoh
lain, pengungkapan kebiasaan tokoh, jalan pikiran, atau tindakan saat
menghadapi masalah.
d. Latar/Se􀄴ing
Latar cerita adalah gambaran tentang waktu, tempat, dan
suasana yang digunakan dalam suatu cerita. Latar merupakan sarana
memperkuat serta menghidupkan jalan cerita.
e. Amanat
Amanat cerita adalah pesan moral atau nasehat yang disampaikan
oleh pengarang melalui cerita yang dikarangnya. Pesan atau nasehat
disampaikan oleh pengarang dengan cara tersurat yakni dijelaskan oleh
pengarang langsung atau melalui dialog tokohnya; dan secara tersirat
atau tersembunyi sehingga pembaca baru akan dapat menangkap
pesan setelah membaca keseluruhan isi cerita.
f. Sudut Pandang Pengarang
Sudut pandang pengarang atau point of view ialah posisi pengarang
dalam cerita. Posisi pengarang dalam cerita terbagai menjadi dua,
terlibat dalam cerita dan berada di luar cerita.
a. Pengarang terlibat di dalam cerita. Terdiri atas pengarang sebagai
pemeran utama (orang pertama), isi cerita bagaikan mengisahkan
pengalaman pengarang. Selain itu, keterlibatan pengarang
dalam cerita juga dapat memosisikan pengarang hanya pemeran
pembantu. Artinya, pengarang bukan tokoh utama atau sentral
namun ia ikut menjadi tokoh, misalnya cerita tentang kehidupan
orang-orang terdekat pengarang, ayah, ibu, adik, atau sahabat
seperti roman sastra berjudul “Ayahku” yang dikarang oleh
HAMKA.
b. Pengarang berada di luar cerita, terdiri atas pengarang serbatahu.
Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII 13
Ia yang menciptakan tokoh, menjelaskan jalan pikiran tokoh,
mengatur dan mereka semua unsur yang ada di dalam cerita.
Selain itu, pengarang berada di luar cerita dapat hanya menjadikan
pengarang sebagai pengamat atau disebut sudut pandang panoramik.
Pengarang menceritakan apa yang dilihatnya, sebatas yang
dilihatnya. Ia tidak mengetahui secara bathin tokoh-tokoh cerita.
Posisi pengarang seperti ini biasanya terdapat pada cerita narasi
yang berupa kisah perjalanan.
g. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah bagaimana pengarang menguraikan ceritanya.
Ada yang menggunakan bahasa yang lugas, ada yang bercerita dengan
bahasa pergaulan atau bahasa sehari-hari. Ada juga yang bercerita
dengan gaya satire atau sindiran halus, menggunakan simbol-simbol,
dan sebagainya. Penggunaan bahasa ini sangat membantu menimbulkan
daya tarik dan penciptaan suasana yang tepat bagi pengembangan
tema serta alur cerita. Setiap pengarang besar biasanya sudah memiliki
ciri khas penggunaan bahasa dalam ceritanya.

Contoh Cerpen populer (perhatikan gaya bahasanya).
S I T I
Tadi pagi aku ngamuk. Rasanya ini amukanku yang terdahsyat
sepanjang sejarah. Keseeel ..... banget. Sumbernya, yah, siapa lagi kalau
bukan si Siti. Itu pembantu baru yang kelakuannya suka bikin takjub orang
serumah. Bayangkan saja, masak dra􀄞 paper kewiraan yang sudah setengah
mati kubuat, seenaknya saja dia lempar ke tempat sampah. Dia tidak tahu
berapa besarnya pengorbananku untuk membuat paper itu. Tiga malam
nyaris tidak tidur. Bahkan Hunter, pujaan hatiku yang setiap Minggu malam
selalu kunantikan kehadirannya, kali ini terpaksa aku cuekin. Eh ..... tahutahu
hasil kerja kerasku itu dilempar ke tempat sampah. Gimana aku tidak
kesal setengah mati. Dasar bego si Siti itu. Aku ‘kan sudah wanti-wanti
ribuan kali agar dia jangan sekali-kali menyentuh kertas-kertasku. Biar
kamarku berantakan kayak kapal pecah juga, nggak apa, asal kertas-kertas
berhargaku aman. Siti, Siti, kamu kira gampang bikin paper, segampang
bikin sambal terasi?
14 Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII
Si Siti ini memang lain. Umurnya baru sekitar delapan belas tahun,
sedang centil-centil-nya. Kerjanya sih cukup lumayan. Dia juga cukup
rajin. Cuma yang namanya centil ..... aujubilah, deh. Setiap pagi kalau ayahibuku
sudah berangkat kerja, dia selalu menyetel dangdut di ruang tamu,
keraaaaas ..... banget. Mau tuli rasanya kuping mendengarkan lagu-lagu
supernorak itu. Kepala pun jadi pusing. Paling malu kalau ada teman yang
telepon. Pasti yang nelpon langsung komentar, “Eh, ketahuan, ya, kamu
suka lagu gituan. Ngaku aja deh.”
Belum lagi kalau teman-teman datang. Dia mulai bertingkah kayak
cacing kepanasan, sibuk cari perhatian. Apalagi kalau yang datang itu
cowok, wah, langsung resek, deh, dia, ketawa-ketawa centil dengan suara
cempreng-nya. Ingin rasanya aku bentak dia. Sayang Ibu selalu melarang,
“Sabar, Rit,” kata Ibu berulang-ulang.
Penyakit si Siti bukan cuma centil saja. Dia juga superbego. Disuruh
ini, dia kerjakan yang lain. Pernah ketika Ibu mau pergi ke pesta,
si Siti disuruh menyetrika gaun yang akan dipakai. Tahu apa yang
dilakukannya? Itu baju malahan dicuci! Sinting nggak tuh? Pernah dia
kusuruh membeli Sunsilk, eh, pulang-pulang dia membawa semangkuk
mie pangsit!
Selama hampir empat bulan dia bekerja, entah sudah berapa kali
dia memperlihatkan kebegoannya. Bukan sekali dua kali aku dibuatnya
senewen. Tapi yang dilakukannya tadi pagi betul-betul sudah keterlaluan
dan aku tidak tahan lagi untuk tidak memakinya. Semua kejengkelanku
harus kutumpahkan, kalau tidak, bisa aku yang gila. Ya, tadi pagi Siti
kubentak-bentak sepuas hati. Semua koleksi kata-kata kasarku kukeluarkan.
Seisi kebun binatang Afrika kusebut satu per satu.
Si Siti menunduk. Entah dia menyesali perbuatannya, entah mengumpat
di dalam hati, aku tidak peduli. Tidak sedikit pun tersirat rasa kasihan di
hatiku. Yang ada saat itu hanya kemarahan yang meluap-luap.
Dar􀄞 Kewiraan yang sudah lecak kupungut dari tong sampah dan
kuseterika. Dengan susah payah aku berusaha mengenali kembali hurufhuruf
yang ada di situ, dan aku salin lagi ke kertas baru.
.......................
Ting-tong.
Wah siapa yang siang-siang begini bertamu, pikirku. Ketika pintu
kubuka, Evi, Uci, Tini, dan Ani cengar-cengir di hadapanku. Tanpa
Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII 15
dipersilahkan, mereka langsung nyelonong masuk ke ruang tamu. Keempat
kuya ini memang sobat-sobatku, dan tidak malu-malu lagi.
“Aduh ....., panas betul, Rit. Minta minum, dong, yang pake es, ya?
Siropnya cherry kalau ada,” kata si Ani.

Buset, kebiasaan jelek si Ani belum hilang juga. Selalu minta suguhan
begitu masuk rumah. Biasanya aku tinggal suruh si Siti saja, tapi kali ini
aku sendiri yang terpaksa membuat minuman.
“Koq sepi, sih, Rit?” Evi bertanya.
“Pada lagi liburan, di Bandung. Gue nggak ikut karena ngebela-belain
bikin paper Kewariaan, ndak tahunya pas dar􀄞-nya jadi, eh, dibuang si Siti ke
tempat sampah. Sial banget, deh.”
“Ya, ampun! Sinting banget, sih, pembokat elo! Gile, kalo gue jadi elo, sih,
nggak tau, deh, gue bakalan mencak-mencak kayak apa,” kata Uci.
“Uh ....., tadi pagi juga gue udah ngamuk berat. Terus, tahu nggak gimana
reaksi si Siti? Ha, pasti elo nggak nyangka, deh. Sekarang dia lagi ‘pesiar’
dalam rangka melancarkan aksi ngambek-nya,” kataku kesal.
“Lho, jadi dia sekarang nggak ada di rumah?”
Aku mengiyakan.
“Ck ..... ck ..... ck ..... Hebat banget pembantu elo! Bener-bener sinting
tulen. Udah, pecat aja, deh, pake susah-susah segala,” kata Ani bersemangat.
“Memang gue udah mikir begitu. Pokoknya, begitu nyokap bokap gue
pulang, langsung gue laporin, deh, si Siti. Biar tahu rasa kalau dipecat,”
kataku.
“Eh, jangan langsung dipecat dulu,” kata Tini memberi saran.
“Emang kenapa ?” tanyaku heran.
“Elo kira gampang cari pembantu sekarang? Maksud gue yang orang
baik, gitu. Jangan-jangan elo bakalan dapat yang lebih brengsek. Bisa runyam,
‘kan?” Tini ber-celoteh panjang-lebar.
“Iya juga, sih. Hati-hati, lho, pembantu sekarang banyak yang nggak
jujur. Tetangga gue aja barusan kemalingan. Malingnya nggak jauh-jauh,
pembantu sendiri, yang habis nyopet langsung kabur,” tambah Evi.
“Soal pembantu suka nyolong, sih, nggak jauh-jauh. Itu si Sum pembantu
di rumahku yang tampangnya ndeso banget dan tak pernah bertingkah
macam-macam, taunya dia itu tangannya panjang. Di rumah gue nggak
16 Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII
boleh narok apa-apa sembarangan. Bisa langsung lenyap tanpa bekas!”
cerita Uci.
“Kenapa nggak dipecat saja ?” tanyaku.
“Susah, Rit, nyari pembantu sekarang. Nyokap gue lagi nyari, tapi belum
ketemu. Kita nggak mau ngambil pembantu dari penyalur, soalnya banyak
yang mengeluh tentang pembantu yang diambil dari sana. Jadi, sementara
ini si Sum tetap saja dipakai. Paling-paling sekarang kita yang harus ekstrahati-
hati. Lagipula dia ‘kan nggak bakalan berani ngambil yang gede-gede,”
kata Uci lagi.
“Ngomong-ngomong, kita pulang yuk,” kata Ani. “Tadi kita kesini ‘kan
cuma mau minta minum gratis, habis jalan-jalan dari Blok M.”
Teman-temanku pulang. Aku sendiri lagi. Gelas-gelas kotor kubawa ke
dapur. Buset, makin banyak saja yang kotor. Kucuci semua, kususun di rak
piring. Lalu aku ingat air minum sudah habis, dan aku juga harus masak
nasi untuk makan malam. Selesai melakukan kedua hal itu, aku teringat
lagi bahwa tanaman di taman belum disiram, dan ikan-ikan di kolam belum
diberi makan. Wah capek juga rasanya.
Aku jadi ingat, si Siti pasti tiap hari capek sekali melayani seluruh
kebutuhan keluarga kami. Mulai dari subuh sampai malam. Salah sedikit
nggak apa-apalah. Toch dia juga baru sekitar empat bulan bekerja, jadi belum
terlalu berpengalaman. Aduh, tiba-tiba aku jadi kasihan sama si Siti. Pasti
dia sakit hati kubentak-bentak dengan kata-kata kasar tadi pagi. Memang,
sih, dia salah. Tapi mestinya aku ‘kan bisa menggunakan kata-kata yang
lebih ‘beradab’ untuk memperingatkannya.
Hari semakin malam.
Siti ....., ke mana, sih, kamu? Pulang, dong!
(Dikutip dari tulisan Maria Margareta Manuwembun
dalam buku Menulis Secara Populer, Ismail Marahimin)

Contoh cerpen berjenis ekspresionisme
                                               KOMPOR GAS
Sahdan terlaksanalah keinginan istri saya untuk memiliki kompor gas
dengan dua nyala. Impian itu sudah lama selalu mengusik hatinya. Maka, ketika
honorarium pekerjaan terjemahan dari hasil penelitian Mevrouw Vochig Okselen
Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII 17
tentang konsep harmoni orang Jawa datang, istri saya segera membayar kompor
gas dan tabungnya dengan kontan. Anak-anak dan saya sangat gembira melihat ia
berbahagia. Bahkan saya sangat terharu. Betapa tidak! Walaupun kompor gas itu
dibeli dengan uang hasil jerih payahnya sendiri, istri saya membayangkan seakanakan
barang luar biasa dahsyat itu hadiah dari saya. Ia juga minta agar anak-anak
membayangkan begitu. Mungkin istri saya melihat apa yang disebut hidup adalah
jalinan antara kenyataan dan impian. Saya menerima realitas itu tanpa perasaan
getir; seorang suami terkadang hampir sekadar lambang.
Maka, dengan semangat tinggi, pagi itu, saya membantu membersihkan
rumah; menyapu halaman dan lantai. Sambil bersiul keroncong petir, saya berjanji
dalam hati bahwa saya akan mencari pekerjaan tambahan di samping tugas rutin
saya. Siapa tahu saya kelak bisa menabung. Kepingin benar saya membelikan mesin
tulis, meja tulis, kursi, dan lampu duduk untuk istri saya. Kepingin benar saya
melihat dia bahagia dengan tugasnya sebagai penerjemah. Ah, betapa malasnya
saya selama ini. Sungguh mlekocot saya! Di luar kerja kantor, tak pernah terbetik
dalam benak mencari tambahan rejeki.
Melepaskan lelah sehabis “bekerja keras” menyapu halaman dan lantai, saya
duduk di kursi teras. Hujan semalam tampak masih berbekas. Daunan basah, dan
butir-butir air gemerlap kena cahaya matahari pagi. Kupu-kupu beterbangan kian
kemari dengan warna-warni. Terlintas dalam pikiran, alangkah ajaib jenis binatang
yang satu ini. Tak bersuara, tak bersengat, tak menganggu. Begitu rapuh tubuhnya,
tapi begitu mempesona warnanya. Saya mencoba menebak pesan Tuhan di balik
kehadirannya.
Jam dinding mengeleneng satu kali. Saya tersentak. Saya tahu. Saya harus
segera mandi dan lari ke kantor. Sudah terlalu sering saya diperingatkan Pak Sabar
karena saya hampir selalu terlambat setiap hari. Saya berdiri sambil menghirup
udara segar.
“Kula nuwun” seorang lelaki setengah baya tiba-tiba muncul di pintu
halaman. Lelaki itu menyandarkan sepedanya dengan tiga jeringen minyak tanah
di bagasinya. Sebelum saya mendekatinya, lelaki itu langsung bertanya apakah
minyak tanah di dapur masih cukup. Tiba-tiba saya gugup. Dengan spontan saya
jawab bahwa minyak tanah kami masih cukup.
“Mungkin seminggu lagi, Mas,” jawab saya. Lelaki itu mengangguk,
menuntun sepedanya dan mendorongnya. Ada perasaan menyesal menyelinap
di hati saya. Seandainya saya tidak harus pergi ke kantor, mungkin saya bisa
mengajaknya duduk-duduk barang sejenak sambil menikmati kopi. Tetapi
gagasan yang selalu saya rencanakan itu tak pernah terlaksana. Secara tidak sayasadari, ternyata, saya selalu mendapatkan dia sebagai kurang penting. Dan ketika
saya menyadari bahwa kemarin istri saya membeli kompor gas, makin terasa,
lelaki itu makin tidak penting. Dia hanya bagian dari teknologi memasak yang
kini mulai ketinggalan zaman. Mas Marta Lenga, demikian nama lelaki itu, akan
dilupakan ketika ibu-ibu mulai tidak mengenal kompor minyak. Kemajuan zaman
telah meninggalkannya. Tujuh belas tahun lalu, tatkala istri saya mulai mengenal
kompor minyak, teman saya lain, Pak Karta Areng, tersingkir. Saya bayangkan,
kelak, jika kompor listrik mulai merata digunakan orang, Den Harja Gas, calon
langganan kami, mungkin akan tersingkir pula. Sejarah telah melahirkan orang
tampil dan kemudian membantingnya. Saya mencatatnya dengan tekun. Seperti
angin, mereka datang dan lenyap.
Akan tetapi, berbeda dengan Pak Karta Areng, Mas Marta Lenga terasa lebih
menggelisahkan saya. Mungkin karena dia selalu tersenyum dan tak pernah
mengeluh. Tubuhnya selalu basah oleh keringat dan minyak tanah. Giginya selalu
kotor, dan selalu ada sisa-sisa makanan di antara sela-sela.
Dua puluh tahun yang lalu, ketika saya baru datang sebagai penghuni baru di
kampung itu, Mas Marta adalah partner saya beronda. Waktu itu, Mas Marta adalah
seorang penjaga sepeda di sebuah kantor. Sementara itu, istrinya mempunyai sebuah
warung kecil yang menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Ketika orang
makin banyak menggunakan kompor minyak, warung itu perlahan-lahan berubah
menjadi semacam agen kecil minyak tanah. Agen itu pernah menjadi besar, banyak
pegawai yang mengantar minyak tanah kepada langganan-langganan di kampung
saya dan sekitarnya. Akan tetapi pula, kebesarannya tidak bisa bertahan lama.
Seingat saya, menurunnya langganan Mas Marta justru ketika rumah-rumah
baru megah mulai dibangun, dan rumah-rumah gaya lama dipugar. Mungkin,
dengan arsitektur ala Spanyol, dengan kamar mandi model seperti yang di hotelhotel
mewah, kompor minyak terasa kurang up-to-date. Dan bersamaan dengan itu
pula, mobil yang menjajakan gas mulai sering lewat.
Tetapi Mas Marta, walaupun makin jarang lewat di depan rumah, tetap
berkunjung ke rumah kami setiap dua minggu. Pernah sekali dia bercerita bahwa
daerah jelajahnya makin luas, tetapi justru karena daerah langganannya bukan
makin meluas. Semula saya kurang paham dengan ceritanya. Baru sekarang saya
mengerti, langganannya kini adalah orang-orang yang tinggal di pedukuhan.
Dengan makin luasnya daerah jelajah, makin sedikit minyak yang terjual. Sebab
untuk bolak-balik membawa tiga jerigen minyak di atas bagasi sepeda, Mas Marta
tak cukup kekar. Dia tidak memiliki otot seperti yang dimiliki Mike Tyson. Karena
itu, setiap hari ia hanya mampu menjual enam jerigen minyak tanah. Ini artinya,
dia bolak-balik pulang dua kali. Itu pun kalau hari tak hujan.
Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII 19
Tepat pukul lima sore, seperti sudah direncanakan, istri saya dan saya tiba
di rumah Mas Marta. Kami disambutnya dengan sangat ramah, walaupun ada
kesan mereka sedikit kaget. Dengan tergopoh, istri Mas Marta segera menyiapkan
teh dan kue-kue, dan ditaruhnya di atas meja. Saya memandang sekeliling ruang
tamu. Pada dinding bambu, tergantung gambar-gambar tokoh wayang, seperti
yang saya lihat dijual di sepanjang Malioboro. Saya membayangkan, jika Mas
Marta ternyata pengemar wayang kulit, mungkin sekali waktu bisa saya ajak
begadangan nonton bersama.
Dengan sangat hati-hati, saya mulai menjelaskan alasan saya berkunjung.
Juga mulai saya terangkan bahwa mungkin kami tidak lagi memerlukan minyak
tanah.
“Wah, Ibu sudah punya kompor gas, ya?” katanya menyambut gembira. Saya
kaget. Istri saya mengangguk. Yang lebih mengejutkan saya, Mas Marta bahkan
berkata bahwa ia ikut gembira karena kami sudah mempunyai kompor gas itu.
“Kami selalu prihatin selama ini karena di kampung Bapak tinggal ibu ini yang
belum memasak dengan kompor gas,” sambung istri Mas Marta. Lalu Mas Marta
mulai menerangkan bahwa sudah beberapa bulan dia memikirkan untuk berhenti
berkeliling menjajakan minyak tanah. Alasannya, langanan makin berkurang.
“Tapi kami tidak sampai hati. Sebab kalau kami berhenti jualan minyak,
Bapak dan Ibu masak pakai apa, coba?” katanya. Saya tertegun.
“Apa mau buka warung lagi?” tanya istri saya sambil mengipas-ngipaskan
saputangan. Istri Mas Marta menggeleng, dan Mas Marta sendiri tersenyum.
Tersenyum lebar-lebar. Gila! Pikir saya. Begitu hebatnya orang ini berhadapan
dengan nasib berselubung perubahan zaman yang mempermainkannya.
“Mungkin mau buka kos-kosan?” sambung saya bertanya. Mas Marta
menggeleng tiga kali. Istri Mas Marta menggeleng empat kali. Pertanyaan ini saya
dasarnya atas informasi Marsengax, seorang mahasiswa Fakultas Hukum, yang
pernah ditawari sewa kamar oleh Mas Marta. Di samping itu, istri Mas Marta
pernah menawarkan sawahnya yang tak begitu luas di Desa Bulu kepada ibu saya
beberapa tahun yang lalu.
“Daripada dibeli orang yang enggak–enggak,” katanya pada waktu itu. Kalu
benar Mas Marta mau buka kos-kosan, pastilah sawah itu sudah laku dan uangnya
dipergunakan untuk memperluas rumah dan menemboknya. Tapi ternyata tidak.
“Lalu, Mas Marta mau jualan apa?” desak saya tak tahan. Mas Marta, sekali
lagi, tersenyum lebar. Senyuman yang penuh optimisme.
20 Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII
“Pakne ini, sekarang,’kan sering didatangi orang. Apalagi kalau malam Jumat
Kliwon,” kata istrinya.
“Maksudnya menjadi dukun?” tanya istri saya. Istri Mas Marta menggeleng.
“Sekali waktu Mas Marta melihat laba-laba kakinya tinggal tujuh. Ee, lha kok
esoknya keluar dengan kepala tujuh!”
“Kepala apa?” tanya istri saya penuh heran.
“Itu, nomor!” tukas Mas Marta. “Dan ketika saya bilang kepada Dik Srundeng
bahwa nomor yang akan keluar persis dengan nomor motor Pak Sardula, ee, nembus
betul.”

Saya tertegun.
“Lha, mulai saat itu, banyak orang datang kepada kami minta nomor. Kalau
mereka datang, biasanya membawa gula, teh, kopi, rokok, terkadang beras, roti
kalengan, dan juga uang,” sambung istri Mas Marta. “Lumayan sekali. Tak usah
kerja, rezeki datang sendiri.”
Saya tertegun.
“Kalau Bapak mau, bisa saya beri kapan-kapan,” kata Mas Marta.“Kan tinggal
bapak yang belum punya mobil. Siapa tahu, nomor yang saya pilih nembus.”
Saya tertegun. Istri saya makin sibuk mengipaskan saputangannya. Udara
pasti terasa gerah baginya karena dia harus menyadari betapa suaminya selama
ini kurang agresif memburu rezeki. Betapa berat, saya bayangkan mengakui
kemalasan suaminya.
Romlah, anak bungsu Mas Marta muncul. Segera istri saya menyerahkan
bingkisan kecil. Juga untuk istri Mas Marta.
“Kok repot-repot,” tukas istri Mas Marta. Lalu kami minta pamit, dengan
alasan saya masih banyak pekerjaan. Dan sebelum saya sampai di pintu, Mas
Marta membisikkan sesuatu ke telinga saya. Saya mengangguk dan mengatakan
terima kasih.
Ketika kami tiba di rumah, saya gantian membisikkan sesuatu ke telinga istri
saya.
“Apa?” tanya istri saya. “Kepala delapan?”
(Dikutip dari karangan: Bakdi Soemanto D.
dalam buku Menulis Secara Populer, Ismail Marahimin )

2. Prosa Nonfiksi
Prosa nonfiksi ialah karangan yang tidak berdasarkan rekaan atau
khayalan pengarang, tetapi berisi hal-hal yang berupa informasi faktual
(kenyataan) atau berdasarkan pengamatan pengarang. Karangan ini
diungkapkan secara sistematis, kronologis, atau kilas balik dengan
menggunakan bahasa semiformal. Karangan ini berbentuk eksposisi,
persuasi, deskripsi, atau campuran. Prosa nonfiksi disebut juga karangan
semiilmiah. Yang termasuk karangan semi ilmiah ialah : artikel, tajuk rencana,
opini, feature, tips, biografi, reportase, iklan, pidato, dan sebagainya.
a. Artikel
Artikel ialah karangan yang berisi uraian atau pemaparan yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) isi karangan bersumber pada fakta bukan sekadar realita
(2) bersifat faktual dengan mengungkapkan data-data yang diketahui
pengarang bukan yang sudah umum diketahui (realita)
(3) uraian tidak sepenuhnya merupakan hasil pemikiran pengarang,
tapi mengungkapakan fakta sesuai objek atau narasumbernya
(4) isi artikel dapat memaparkan hal apa saja seperti, pariwisata, kisah
perjalanan, profil tokoh, kisah pengalaman orang lain, satir, atau
humor.
Contoh artikel (1) berisi kisah perjalanan:
MENAPAK TANAH BADUI
Neda agungnya paralun / neda panjangnya hampua / bisi nebuk sisikunya
/ bisi nincak lorongananya /Aing dek nyaritakeun/ urang Badui ..... / (Mohon
ampun sebesarnya / mohon maaf selalu / bila menyentuh intinya / bila menginjak
larangannya / Akan kuceritakan tentang orang Badui .....).
Dan, Judistira Garna, sang antropolog dari UNPAD itu pun bercerita
tentang kearifan orang Badui, yang dalam kesederhanaan hidup mampu
membendung gencarnya kedatangan alam modern. Wawasan mereka yang
dalam tentang kehidupan seakan memberikan citra yang kebalikannya,
bahwa masyarakat Badui adalah masyarakat terasing.
22 Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII
Penasaran karena melihat begitu hormatnya Judistira yang merupakan
pakar yang paling top dalam Badui ini, sampai-sampai ia harus meminta
maaf sebelum ia bercerita tentang mereka, aku merasa ingin segera
mengangkat ransel menuju Banten, Jawa Barat, tempat suku yang begitu
ketat menjaga tradisinya itu bermukim. Ajakan ringan yang dilemparkan
seorang sahabat pun segera kutanggapi serius. Dan segera, berempat, kami
berangkat ke sana.
Goyangan kereta api Tanah Abang-Rangkas Bitung, gojlokan mobil
colt tua yang berlari kencang, membawa kami ke rumah Pak Sarkaya,
penduduk Pasar Simpang, Desa Cibungur, Kecamatan Lewi Damar, Rangkas
Bitung. Pak Sarkaya terkenal sering main ke daerah Badui. Sebetulnya ada
tempat lain yang dapat mencapai daerah Badui lebih cepat, seperti yang
ditawarkan kenek-kenek mobil colt di Rangkas Bitung, tapi kami tidak
merasa terburu-buru.
Malam itu juga, disertai doa dan titipan salam Pak Sarkaya untuk Jaya,
anak kepala suku Cibeo, kami bergerak perlahan menuju Cibeo, satu dari
tiga perkampungan Badui Dalam. Sebetulnya, empat jam berjalan sudah
akan dapat membawa kami, para peloncong alam, dari Ciboleger ke’pintu
gaerbang’ pemukiman Suku Badui. Namun, prinsip ’menikmati alam’ yang
kami anut membuat Ciboleger baru mulai kelihatan tujuh jam kemudian.
Desa Keduketuk adalah desa pertama yang kami jumpai, salah satu
dari sekian banyak desa suku Badui Luar yang ‘memagari’ tiga suku Badui
Dalam. Hitam adalah kesan menyeluruh penampilan orang-orang Badui
Luar. Celana komprang hitam selutut, baju kampret hitam lurik, dan
ikat kepala berwarna biru tua dan hitam merupakan pakaian sehari-hari
khas mereka. Rokok yng mereka isap memperlihatkan sikap ‘menerima’
kemajuan zaman.
Setelah ngobrol sedikit dengan warga desa ini, kami kembali
melanjutkan perjalanan. Kurang lebih lima buah bukit kami jejaki lewat
jalan setapak yang kadang-kadang terjal mendaki. Kelelahan selalu terobat
oleh hijaunya alam yang indah dan keramah-tamahan warga Badui Dalam
yang sedang berada di huma (ladang) masing-masing
Keasyikan kami melangkah dikejutkan seorang gadis cilik yang
nyelonong ngelewati kami. Lho, dia ‘kan yang tadi nyelonong di Ciboleger
bersama ayahnya sambil menunggu kayu bakar siap? Ya, di belakangnya,
sang ayah melangkah tenang memikul kayu bakar. Mereka tersenyum
ramah, tidak ada tanda-tanda mengejek kami yang sudah kehabisan napas.
Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII 23
Begitu cepat mereka menyusuri jalan mendaki dengan kaki terlanjang!
Gelap turun. Si cilik dengan ayahnya sudah lama menghilang. Hati-hati
kami menapak bukit dengan bantuan senter-senter kecil menerang jalan.
Senda gurau warga Badui Dalam yang sedang dalam perjalanan pulang
dari humanya membuat kami tidak merasa sendirian atau takut salah jalan.
Dengan ramah, mereka memimpin jalan menuju perkampungan, santai
melenggang tanpa penerangan. Senter memang tabu bagi mereka. Tidak
ada larangan bagi kami untuk tetap menggunakannya, namun mereka pun
tetap berpatokan pada bintang-bintang di langit. Andai tak ada bintang?
Sebatang lilin yang ditempatkan di batok kepala cukuplah buat mereka.
Jaya menyambut kami di perkampungan. Dipersilakannya kami
membersihkan diri dengan air dari dalam potongan-potongan bambu
sepanjang setengah meter, yang tampaknya memang ada di tiap teras
rumah penduduk Cibeo.
Rumah-rumah panggung beratap daun nira itu tidak berpaku sebuah
pun. Hanya pasak-pasak yang membuat rumah-rumah itu tegak berdiri.
Ventilasi berupa jendela hanya di rumah kepala suku, sedangkan rumahrumah
lain sudah cukup puas dengan membuat lobang-lobang kecil di
dinding yang terbuat dari gedek. Tidak ada kursi, meja, atau tempat tidur.
Pakaian pun cuma di-buntel, ditaruh di tempat khusus di langit-langit
rumah. Perlengkapan memasak yang sangat tradisional diletakkan saja
tanpa alas di lantai rumah yang terbuat dari bambu.
Dengan perlengkapan memasak yang tradisional itulah, mereka ramah
menyediakan diri memasak supermi yang kami bawa. Bersama kami
menyantap hidangan hangat itu. Tidak ada sendok, garpu, hanya daun
yang dilipat membentuk cengkok. Gelas juga cuma dari bambu. Bambu
dan kayu memang merupakan bahan baku utama hampir seluruh perkakas
yang mereka gunakan.
Cerita-cerita yang diungkapkan Jaya merupakan pelepas lelah bagi
kami. Jaya, satu-satunya warga Cibeo yang dapat berbahasa Indonesia,
menjawab semua keingintahuan kami.
Sunda Wiwitan, begitulah mereka menyebut agama mereka. Dan
dengan mengikuti penanggalan mereka sendiri, mereka berpuasa selama
kurang lebih tiga bulan setiap tahunnya, mulai saat subuh belum lagi
sempat menyapa, hingga saat matahari sudah meringkuk di sudut bumi,
setiap harinya. Jika masa panen selesai, tokoh-tokoh masyarakat Badui
Dalam menyambangi tampat arca Domas suci, di hulu Sungai Ciujung.

Di sana, mereka melaporkan apa-apa yang telah terjadi dalam setahun itu
dan memohon berkah untuk tahun mendatang.
Kerja dan kerja. Itulah yang selalu mereka lakukan. Itulah ibadah
yang selalu mereka sucikan. Itulah yang mereka sebut ‘bertapa’. Sebab
dengan terus ‘bertapa’, dengan kata lain terus bekerja, mereka tidak lagi
punya waktu untuk menyimak iri, dengki, tamak, malas, atau perasaan dan
perbuatan jahat lainnya.
Sebuah perjalanan tidak bisa dilakukan semau hati karena tidak ada
kendaraan yang boleh digunakan. Jaya pun hanya mengandalkan kekuatan
kakinya selama empat hari menyusuri rel kereta api menuju Jakarta. Juga,
tidak setiap warga boleh meninggalkan daerah Badui Dalam ini. Bahkan
kepala suku mempunyai kewajiban untuk tinggal saja di kampungnya.
Malam telah larut. Di tengah damainya perkampungan suku Cibeo
ini, kami tertidur. Dan ketika subuh belum lagi pantas disebut, Jaya telah
pergi ke huma bersama warga kampung lain. Berladang tanpa cangkul,
bajak, apalagi traktor. Begitu sederhananya, sesederhana pakaian mereka
yang hanya celana komprang plus baju kampret, serta ikat kepala putih,
yang membedakan mereka dari orang-orang Badui Luar. Sementara ibuibu
bertelanjang dada keluar menyapu halaman rumah mereka sambil
menyusui anak.
Matahari meninggi. Kami pamit menuju Cikertawana dan Cikeusik,
dua daerah perkampungan Badui Dalam lain. Kembali kami melangkah
kaki di jalan setapak yang membelah bukit-bukit dan menyusuri sungaisungai
yang menawan.
Di Cikeusik kami hanya mendapatkan seorang penduduk yang
kemudian menjamu kami dengan pisang besar yang dibakar begitu saja
di bara api. Gula aren khas Badui menjadi campuran susu yang kami buat,
ditambah sajian buah asam kranji, sangat menghibur hati kami yang kecewa
karena sepinya kampung, ditinggal warganya pergi ke huma.
Tak lama kami di sana karena waktu sudah mengharuskan kami
beranjak pulang. Dua hari berada di tengah orang-orang Badui, cukup
membuat kami mengerti rasa hormat yang tumbuh di dalam hati Judistira
Garna, karena kami pun merasakan hal yang sama. Di balik sikap sederhana
dan sorot mata yang lugu dan polos, ada ‘sesuatu’ yang membuat mereka
sanggup begitu kuat menggenggam tradisi mereka, ‘sesuatu’ yang
membuat jiwa terasa begitu damai di tengah-tengah mereka. Laranganlarangan
yang tidak pernah dilanggar, dan tidak adanya keinginan untuk
Bahasa Indonesia SMK/MAK Setara Tingkat Unggul Kelas XII 25
berontak, merupakan hal yang terasa sulit dibayangkan. Namun dengan
kesederhanaan mereka, orang-orang Badui membuktikan sebuah kekuatan
yang mampu mengekang emosi, dan ini merupakan salah satu sifat arif
dan bijak.
Badui adalah suku yang jauh di pelosok hutan, namun rasanya banyak
yang dapat dipelajari manusia-manusia modern tentang arti sebuah
pribadi yang tegar dan kokoh. Hanya sebuah pikukuh (ketentuan mutlak)
sederhana, yang telah tertanam dalam di nadi orang-orang Badui, yang
membuat mereka begitu mengagumkan:





Gunung jangan dilebur.
Lembah jangan dirusak.
Larangan jangan diubah







0 komentar:

Posting Komentar